Apa Kesalahpahaman yang GanSis Alami Karena Merasa Sudah Benar?

Apa Kesalahpahaman yang GanSis Alami Karena Merasa Sudah Benar?

SUMOQQ Lounge Apa Kesalahpahaman yang GanSis Alami Karena Merasa Sudah Benar? Salah paham terjadi biasanya karena miskomunikasi. Seperti sekarang kondisi Pandemi Covid-19, juga terjadi “infodemi”. Kondisi dimana banyak beredar info-info keliru terkait virus Corona. Imbasnya sering terjadi kesalah pahamanan ditengah masyarakat.

Entah katanya teori ini, itu, klaim ini dan itu. Macam-macam pokoknya. Meski kondisi demikian gak baik, tapi saya masih bisa maklum. Di kondisi krisis serba ketidakpastian, dimana perkembangan dari hari ke hari yang dinamis ini. Wajar banyak terjadi kesalah pahaman.

Ada masanya kita berada pada situasi baru yang belum pernah terjadi. Dimana kita merasa sudah benar. Nyatanya kita salah. Salahnya disini, ya emang karena kita benar-benar gak tahu dan gak menyangka bahwa kita salah. Pernahkah GanSis mengalami hal demikian? Kalau saya pernah..

Apa kesalahpahaman yang pernah GanSis alami karena benar-benar tidak tahu atau merasa sudah benar?

Masanya sama seperti wabah Covid-19, yakni sama-sama kondisi darurat dan krisis. 2004, Tsunami Aceh. Kondisi yang bisa dikatakan pertama kali terjadi sejak Indonesia merdeka. Saya yakin orang Indonesia sebelumnya tidak tahu apa itu Tsunami.

Apa Kesalahpahaman Pokoknya peristiwa tersebut merupakan hal baru, termasuk bagi saya. Banyak pengetahuan baru terkait kebencanaan. Sebuah ilmu yang sebenarnya wajib diketahui oleh warga Indonesia, yang negerinya sering terjadi bencana alam.

Sayangnya info terkait bencana alam, termasuk Tsunami, saat itu yang saya rasakan minim. Banyak terjadi salah informasi, tidak banyak yang tahu apa itu Tsunami. Mirisnya, tidak sedikit orang-orang yang tahunya di Aceh sedang kena azab.

Saat itu saya umur 8 tahun. Di Sumatera Utara memang tidak terdampak langsung. Tapi hiruk pikuknya cukup terasa. Mulai ada penggalangan bantuan kemanusiaan. Belum ada mekanisme penggalangan dana secara online, satahu saya saat itu. Masih dari rumah kerumah datang relawan. Door to door maupun dipinggir jalan menggalang bantuan.

Bisa bantuan apa aja. Uang, makanan, pakaian dan lainnya. Pakaian bekas juga diterima. Karena kondisinya darurat. Maka apa yang bisa dibantu, maka disegerakan penyalurannya.

Keluarga saya saat itu menyumbang pakaian bekas. karena di rumah saat itu banyak terdapat pakaian bekas.

Bagi kami pakaian bekas itu masih layak. Lumayanlah buat ganti-ganti setiap harinya. Ya itu persepsi dari saya dan juga keluarga saya. Bagi kami itu sudah benar.

Tapi selang beberapa hari, terdengar kabar bahwa bantuan pakaian tersebut ditolak di lokasi bencana Tsunami Aceh. Tidak tahu awalnya terbentuk persepsi negatif terhadap Aceh. Seingat saya, persepsi pada saat itu seolah warga Aceh sombong, tidak mau terima bantuan pakaian bekas. Bantuan tersebut dibuang, katanya.

Terlebih saat itu isu GAM lagi ramai-ramainya. Terbayangkan hiruk-pikuk saat itu. Betapa mudahnya isu digoreng sampai “gosong*.

Apa-Kesalahpahaman

Sampai saya termakan isu tersebut. Secara saya masih anak kecil yang tidak tahu banyak hal.

Apa Kesalahpahaman Sampai selang beberapa tahun kemudian. Kalau tidak salah saya, setelah 10 tahun berlalu (dari Tsunami Aceh). Saya melihat liputan di tv terkait cerita para relawan di posko bencana.

Singkat cerita, terungkaplah betapa keras usaha para relawan menyortir bantuan pakaian. Ternyata bantuan pakaian terutama pakaian bekas harus diseleksi ketat. Dikhawatirkan pakaian bekas tersebut membawa virus penyakit. Repot banget kan, sudah kondisi bencana ditambah beredarnya penyakit.

Jadi, pakaian bekas bantuan tersebut harus dicuci bersih dulu atau disterilkan. Dan saat bencana Tsunami Aceh tentunya kondisi berbeda, tantangan jauh berat. Bantuan yang datang sangat banyak. Sementara pengungsi harus segera dibantu. Rasanya tidak cukup waktu untuk berkutat dengan pakaian bekas. Saya pikir memang akan lebih bagus memprioritaskan pakaian baru. Siapa coba yang mau cuci pakaian bekas dalam jumlah besar.

Dari situ saya baru sadar. Bahwa dulu, bukan bantuan pakaian yang ditolak. Tapi karena pakaian bekas tersebut kurang layak. Harus disortir dan dicuci hingga bersih dulu. Jadi kesannya bantuan pakaian bekas tersebut ditolak. Padahal demi meminimalisir dampak yang tidak diinginkan dari pakaian bekas. Makanya pakaian bekas tersebut tidak disalurkan.

Itulah yang disebut salah paham. Mungkin kita, terutama saya berpikir saat itu bahwa bantuan pakaian bekas yang saya berikan sudah layak dan membantu. Ternyata proseduralnya tidak begitu.

Begitu juga kita jangan asal membenci orang-orang yang memiliki pemikirannya sendiri dari kebanyakan orang terkait Pandemi Covid-19. Karena boleh jadi teori-teori serta klaim obat penyembuhan dari mereka tersebut dikemudian hari ada benernya juga. Kita gak ada yang tahu ya, lihat saja nanti.

Jadi bersabarlah. Lebih banyak berpikir, maklum, menahan diri untuk tidak bereaksi berlebihan dan saling mengingatkan dalam kebaikan.

Dibaca juga : Waspadai Fakta Tremor Ini Sejak Dini, Bisa Berbahaya

ADMIN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *